Friday, June 11, 2010

Profil >>

Digital adalah Dukaku

Cuaca pada hari sabtu pagi itu sangat terik , meski pepohonan yang menjulang tinggi menutupi sinar matahari, tetap saja panasnya menembus dan membakar kulit.
Panas terik itu tak menyurutkan semangat Dadang untuk mencari nafkah sebagai tukang foto keliling di Kebun Binatang Bandung. Meski hanya bermodal si analog instax Fujifilm pinjaman pihak kebun binatang, tetapi ia tetap saja bersemangat untuk menangkap buruan shutter kameranya yang sudah ia pegang selama belasan tahun.

Terlihat di sekelilingnya hanya pemandangan gajah-gajah yang juga menjadi lahan ia mendapatkan butir-butir uang untuk mengisi pundi yang selalu menipis di akhir minggu. Tak hanya pemandangan gajah-gajah saja , tetapi terlihat sorotan kamera digital dan handphone ikut meramaikan susana arena gajah tersebut. Dadang merasa banyak perubahan yang sangat ketara ia rasakan, dulu ia hanya melihat pemandangan teman-teman seprofesinya beramai-ramai memburu mangsa yang akan menjadi lahan makanan, tetapi saat ia melihat sekelilingnya teman-temannya sudah lama meninggalkan analog yang dulu menjadi kebangaan untuk mengisi pundi-pundi mereka, ya tentu saja teman-teman Dadang lebih memilih pekerjaan lain selain menjadi tukang foto analog yang penghasilannya tidak menentu dan tidak menjanjikan lagi , karena mereka menganggap mereka tak dapat bersaing dengan si digital yang perlahan mendominasi.

Alasan Dadang untuk bertahan adalah demi keluarganya di Garut yang selalu menunggu kiriman hasil keringatnya, meski jam kerjanya hanya dari pukul 9 pagi hingga 4 sore namun Dadang mengaku dia masih mampu menghasilkan uang walaupun tak seberapa. Di usianya yang menginjak 43 tahun, Dadang mempunyai 3 orang anak yang sampai saat ini masih mampu ia sekolahkan. Dadang bekerja hanya untuk anaknya supaya anak-anaknya kelak lebih baik darinya dan mendapatkan hidup layak yang mampu mengangkat derajat orang tuanya.

“Suka dukanya selama saya menjadi tukang foto keliling , ya sukanya mah kalo dapet banyak yang difoto aja , kalo dukanya ya itu yang bawa-bawa hp , kamera gitu , jadi kan gak ada yang difoto.” ujar Dadang .

“Saya hanya berpesan meskipun kita mampu membeli kamera digital bahkan analog sekalipun ,tapi tetaplah hargai mereka yang masih menggunakan analog sebagai penyambung hidup dirinya dan keluarganya.”





[Teks & Photo by Febi Haryani - 210110080086]

30 comments:

zoom.in said...

test ..

Gamer_GPM said...

kasian pak dadang ya..
tp tetep semangat. smoga rezekinya terus mengalir..amin...

zoom.in said...

amin.. makasih gat :)

Dunia LaLa said...

hmm.. digital punya dua sisi,, satu sisi dy memudahkan orang untuk foto dan nyimpen foto tapi di sisi lain dy ngerugiin tukang foto kyk pak dadang ini,,

MAKNYUSS said...

perkembangan teknologi (termasuk era digitalisasi) memang memiliki dampak yang positif sekaligus negatif, tinggal bagaimana kita dapat beradaptasi dengan perkembangan tersebut untuk meminimalisir dampak negatifnya...tapi salut buat Pak Dadang lah..hidup pantat gajah..hahahha

anju said...

dualisme digitalisasi

zoom.in said...

@kak echa : memang kak , era sekarang itu tergantung kita juga bagaimana menyikapinya,tp pak dadang berusaha bertahan karena beliau tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan analognya itu ,, hidup juga lah . hehehe

@anju : iah nju :)

Rezki Apriliya said...

Profesi seperti Pak Dadang sudah sangat jarang, apalagi di zaman digitalisasi seperti sekarang.
Memang dibutuhkan konsistensi yang tinggi dan kecintaan yang tulus untuk berprofesi sbg tukang foto analog yang notabene penghasilannya tidak besar.
Salut dah pokoknya buat Pak Dadang.
TWO THUMBS UP!

lodra said...

mantep nih judulnya menarik...
tapi kan sebenernya karena ada digital, Dadang jadi sedikit saingannya, buktinya teman2nya yang dulu rame pada moto juga, sekarang udah ganti profesi. Jadilah sekarang Dadang pilihan bagi para wisatawan untuk berfoto,hehe...

Intinya mah rezeki gak kemana, kalo mau tekun, usaha dan do'a (jadi ceramah gw,haha...maklum udah tua)

zoom.in said...

@rezky : hahahaha.. iah ky salut juga dia masih bertahan di era yg serba digital ini :)
@ kak lodra : betul kalo rezeki itu sudah ada yg ngatur , mungkin saingan pak dadang berkurang tapi tetap aja ada saingan yang lebih berat yaitu digital
hahahhahaa... saya gak bilang kk udh tua loh ya :P

Anonymous said...

cari lahan baru pak dadang. kebon binatang mah kagak profit. hehehe..

btw, menurutku harus jelas dulu identifikasi masalahnya. ini bukan permasalahan teknologi; analog atau digital. tapi ini masalah sosial-ekonomi. pak dadang kesel sama hp & kamera digital karena jadi saingan usahanya. jadi, secara substansial, gak ada yang salah sama kamera digital. karena teknologi itu senantiasa berkembang dan gak bisa dibendung (naluri manusia untuk progresif). hanya saja dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, teknologi harus menyesuaikan diri (fungsi kontrol) dengan masyarakat sekitar.

contoh paling konkrit adalah dilema di salah satu industri makanan (misalnya) memilih untuk mengotomatisasi proses pengepakan produk. hal tersebut (otomatisasi) akan berdampak pada di-PHK-kannya ratusan buruh. salam.

diddi said...

yg gue dpt dr kisah ini
adalah kita harus hargai profesi apapun itu
karena d setiap profesi ada maksud kenapa dia mau melakukan ny
=) tetep semangat yh pa dadang
loh ????
hheheheeh ^Q^

adhe nurul said...

hmmm,, mnrut aku sih padadang gkn kalah saing!!! kalo org2 yg ngerti seninya potograpi,, (hha,,nyunda!!)
mereka lebih milih analoglah dbanding digital,,
gmna gmbar bs ddapet,, dan sbgainya,,
kalo pa dadang,, dan pa ddang laiinya mau bertahan,, saya rasa sih cuma satu!!!
USAGA LEBIH KERAS LAGI,, jgn cuma ngendon d bonbin pak,, cari lapak lain,, ikut event2 yg menghargai kreatifitas mereka,,
meskipun teknologi emg sgt dperlukan,, tapi masi byk dluar sana yg care dgn 'CARA LAMA'
^^

zoom.in said...

@ ishaq : waaahhh terimakasih kang ishaq :)
@didi : hehhhe .. sip deh :)
@adhe : iah nanti saya kasih tau deh supaya pak dadang tidak bertapa saja di bonbin ^^

CSB said...

wah.. denger cerita ini jadi sedih (saya loh itu. yg gamau sedih juga boleh). tapi saya pernah dikasi tau soal 'insting bertahan' hidupnya manusia, mau apapun itu pangkatnya, ato apapun yang mereka kenakan waktu lagi tidur, ato lagu Beatles mana yg jadi favoritnya. mungkin (ini beneran mungkin loh) kita jg udah pernah merasa gimana kreativitas (yg kadang2 ajib -bukan ajaib-) muncul di tengah tekanan (baca : deadline).

sy juga prnh dikasi tau (ketauan jrg nyari tau, maunya dikasi terus), di surabaya ada fotografer wedding yg okemarokesekali dan mahal bayarannya (dibandingin sm fotografer wedding yg skrg2), tp masih pake film.

jadi, utk soal pa dadang, ketika sy bisa bantu, sy lbh milih "memberi kail" dan bukan "ikan".

hidup manusia! dan juga mahluk hidup lain. amin.

zoom.in said...

@arza : terimakasih atas berbagi pemikirannya kak , ya semoga saja manusia bisa lebih menghargai arti dari sebuah proses *loh kok jadi kesitu ya :))

redo said...

wah tukang foto dimana nich?? gw cma berpesan buat dya. smangat pak

zoom.in said...

@ redo : di kebun binatang bandung do , ia nanti saya sampaikan pesannya untuk si bapak :)

Unknown said...

profesi langka di era teknologi yang semakin maju, terus bertahan dengan apa yang dia bisa. kalo kata istilahnya siy kerja keras hingga kristalisasi keringat (halah..!!)
tetap semangat, hidup terus berputar. suatu saat pa dadang akan menikmati buah dari kerja keras

zoom.in said...

@ tezar : iah kak betul sekali, dan semoga bapak dadang akan menikmati hasil jerih payahnya kelak :)

anju said...

karena digitalisasi juga pak dadang ini jadi menarik untuk diangkat...
kalo pas zaman analog daya tariknya juga belum seesar sekarang...

zoom.in said...

@anju : iah bener bgt nju :)

Perempuan Punya Berita said...

sedih banget iiihh T.T

zoom.in said...

@ perempuan : iah itulah kehidupan T.T

chii7 said...

waaa
keren bgt kisahnya, kasihan pak dadang.
dengan senyuman dan ketekunannya dia bertahan dengan profesinya.
semangat buat pak dadang.
jangan pantang menyerah.
semuanya ada jalannya

zoom.in said...

@ ai : iah ai, memang kasihan , tapi gimana lagi memang itu jalan pilihannya si bapak

fitri said...

salut untuk pak dadang..
memang susah untuk "mengalahkan" orang yang sudah memiliki kamera sendiri..

zoom.in said...

@fitri : kita memang perlu beri apresiasi buat bapak dadang yg masih bertahan dgn analognya ini untuk memenuhi kebutuhannya

Cinematography and Us said...

salut utk pak dadang. dan kita sbg pengguna digital harus lebih menghargai tiap jepretan yg kita hasilkan

zoom.in said...

@ cinematography: yap..manusia emang kudu menghargai dan mensyukuri segala hal di dunia ini,,

Post a Comment